Senin, 25 Juni 2012

PENARI KERATON ITU BERNAMA JEANNIE PARK


Kalau Sahabat pernah mengunjungi keraton Yogyakarta, mungkin pernah menyaksikan wanita cantik ini menari.  Melihat penampilannya, siapa sangka ia berasal dari seberang benua. Gerak tubuhnya luwes dan kalau berbicara sehari-hari menggunakan bahasa Jawa. Kalau ia berbahasa Indonesia bahkan dialeknya jadi medok. Kecuali dari wajahnya, siapa sangka wanita anggun ini warga negara Amerika Serikat keturunan Korea! Kecintaannya pada budaya Jawa membuat Jeannie mantap meninggalkan pekerjaannya yang mapan sebagai Direktris Kohn Turner Gallery di Los Angeles untuk hidup sebagai seniman di Yogyakarta.  Padahal  saat itu ia ditawari menjadi partner galeri terkemuka yang klien-kliennya para pesohor Amerika, termasuk Bruce Springsteen, Robin Williams, dan Tom Hanks.

Jeannie Park alias Jee-Hyun Park lahir di Seattle (Amerika Serikat), 2 Mei 1969 dari pasangan seniman Korea Selatan, Chong-Gil Park dan Hi-Ah Chai. Umur 10 tahun, ia menyaksikan KRT Sasminta Mardawa, dosen tamu University of California, Los Angeles, menari. Jeannie kecil sangat terkesan melihat tarian sang maestro tari Jawa klasik itu. Busana, gerakan, dan music tarian Jawa membuatnya terpikat dan bertekad untuk mengunjungi negeri asal tarian itu suatu hari kemudian. 12 tahun kemudian, keinginan Jeannie terwujud saat mengikuti University of California Education Abroad Program  selama 4 bulan di Pusat Studi Indonesia Fakultas Sastra UGM. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk belajar tari Jawa, meski menurutnya waktu sesingkat itu seolah sekedar mencicipi tari Jawa saja.

Kembali ke Amerika, Jeannie kembali tenggelam dalam rutinitas. Apalagi setelah lulus kuliah ia bekerja sebagai kurator seni rupa di Jan Turner Gallery. Tak terlalu lama, ia dipromosikan menjadi Associate Director sebelum akhirnya pindah ke galeri seni kontemporer terkemuka Kohn Turner Gallery sebagai Direktris! Toh kesuksesan karir dan materi tak membawa kebahagiaan bagi Jeannie. Ia merasa batinnya kosong. Ia selalu merasa gelisah dan ada yang belum ditemukan dalam hidupnya. Untuk meredam kegelisahannya, Jeannie terus menyibukkan diri dengan pekerjaannya, hingga suatu hari ia mendapat telefon dari Konjen Indonesia di Los Angeles yang memberi tahu, permohonan beasiswanya diterima. Meski sudah lupa kapan mendaftar beasiswa, Jeannie berangkat ke Indonesia. Ia mendapat beasiswa setahun belajar tari Jawa klasik di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Tak hanya belajar menari, Jeannie juga mempelajari cara berfikir orang Jawa. “Saya mengalami pencerahan karena mengalami, merasakan, dan belajar cara berfikir orang Jawa, pencipta kesenian yang saya cintai,”tutur wanita ayu nan ramah itu.

Setahun belajar tari Jawa dengan hati, membuat Jeannie menjadi yang terbaik hingga dipercaya menari di keraton Yogyakarta. Sejak itulah Jeannie menjadi penari keraton. Ditinggalkannya pekerjaannya yang mapan di Amerika, meski saaat itu ia mendapat tawaran menjadi partner untuk ikut memiliki Kohn Turner Gallery. Hidup sebagai seniman tari Jawa klasik di Yogya memberikan kedamaian dan kebahagiaan yang tak dirasakan Jeannie saat masih hidup dalam  gemerlapnya Los Angeles. Tahun 2000, Jeannie menikah dengan Lantip Kuswala Daya yang juga penari Jawa klasik. Jeanniepun makin mantap menghabiskan sisa hidupnya sebagai wong Yogjo.

“Yogyakarta is my hometown. Saya bahkan sudah bisa mengendarai sepeda motor di Malioboro,”ungkapnya. Kini Jeannie tenang dan bahagia bersama suami tercinta di Desa Kembaran, Bantul, Yogyakarta. Pasangan seniman ini telah dikaruniai 2 putra, Jivan Aruna dan Mohan Kalandara.

Pengalaman menari paling berkesan bagi Jeannie, saat ia membawakan tari Bedhaya Sang Amwarbumi di Bangsal Kencono keraton Yogyakarta bersama 2 putri Sultan Hamengkubuwono X, Gusti Pembayun dan Gusti Candra Kirana (2001).

Mulai 2007, kesibukan Jeannie bertambah dengan menjadi Direktris Eksekutif Yayasan Bagong Kussudiardja. Kini, selain menari, iapun mengurus para seniman Padepokan Seni  Bagong Kussudiardja di Desa Kasihan, Bantul. Tentu saja, prioritas tetap mengurus keluarga di Desa Kembaran. (MGH/Foto: Fransiskus Dharmawan Eka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar