Minggu, 01 Juni 2014

GUNG RAI : TAK MAU HANYA MENGAMBIL


Pendidikan formalnya 'hanya' hingga lulus SMP. Namun dengan ketangguhan, kesabaran, dan kecerdasannya melihat serta memanfaatkan peluang, Agung Rai atau lebih akrab dengan Gung Rai kini menjadi salah satu kolektor lukisan terkemuka di kalangan pecinta seni internasional. Tapi Gung Rai bukan kolektor biasa. Ialah pendiri sekaligus pemilik Agung Rai Museum of Art (ARMA Museum) di Ubud (Bali). Tak hanya menjadi salah satu icon Ubud, ARMA turut melestarikan budaya Bali dengan mengusung konsep living museum. Konsep ini sengaja dipilih Gung Rai untuk melestarikan budaya agraris. 

Di komples museum seluas 6 hektar miliknya (semla 'hanya' 3 hektar), Gung Rai membiarkan penduduk yang sejak semula hidup di sana untuk tetap tinggal dan beraktivitas seperti sebelumnya, apa adanya. Mereka tetap bercocok tanam di kebun atau sawah, melakukan upacara adat, dan beribadah di pura. Tidak ada penggusuran sama sekali! Tak heran selain museum, toko buku, hotel, perpustakaan, conference venue, dan panggung terbuka kesenian, sebagian besar kompleks ARMA justru berupa sawah, perkampungan penduduk, pura, sungai, dan kebun yang dikerjakan penduduk. Bagi Gung Rai, ARMA merupakan bakti dan cintanya untuk Ubud. Ia merasa sudah dihidupi kampung halaman tempat kelahirannya. Ia sadar bertahun-tahun hidup 'dinafkahi' Bali, terutama Ubud. Gung Rai menegaskan, ia tak mau hanya mengambil. Iapun ingin memberi pada kampung halamannya. 

Gung Rai lahir dengan nama Anak Agung Gde Rai, adalah putra Anak Agung Aji Punia. Lahir tanggal 14 Juli 1955 Gung Rai sejatinya berdarah bangsawan. Malang, keluarganya tersingkir dari puri karena perebutan kekuasaan antar bangsawan hingga terpuruk dalam kemiskinan  dan hidup di rumah yang terbuat dari lumpur di pinggiran desa. Untuk menghidupi istri dan 5 anaknya, ayah Gung Rai bekerja sebagai buruh tani. 

Untuk membantu orangtuanya, Gung Rai bekerja sebagai pembantu di puri (istana bangsawan) Kelodan, Peliatan, hanya agar ia bisa mendapat makan gratis dan mengurangi beban orangtuanya. Menginjak remaja ia berjualan asongan di Kuta. Belajar bahasa Inggris pada Karmajaya, salah seorang pemandu wisata kala itu, Gung Rai kemudian 'naik kelas' menjadi pemandu wisata. ia pula yang memperkenalkan Alas Bojog, hutan di Ubud yang waktu itu dikenal angker. Pada para turis, Gung Rai mempromosikan Alas Bojog sebagai "monkey forest" hingga akhirnya kawasan itu berubah menjadi obyek wisata terkenal di Ubud, bukan lagi hutan angker seperti sebelumnya. 

Sementara karirnya sebagai pemandu wisata makin sukses, 'bisnis'-nya sebagai pedagang asongan makin lancar pula. Lewat jaringan para pelukis Bali yang dikenalnya, Gung Rai mendapat kepercayaan menjual lukisan pada para turis asing. Bisnis inilah yang kemudian membuat jaringannya semakin luas di kalangan pecinta seni berbagai negara hingga  ia bisa berkeliling berbagai negara untuk menjual lukisan para seniman Bali. Gung Rai telah berkeliling  kota-kota besar di seluruh dunia untuk memamerkan karya-karya pelukis Bali. Roda hidupnyapun berputar makin ke atas...Tapi baginya, bukan itu yang terpenting. Gung Rai jadi paham bahwa karya para seniman Ubud diminati pecinta seni internasional, dan ini salah satu modal besar bagi Bali, khususnya Ubud yang menjadi pusat seni lukis Bali.

Menikah dengan Anak Agung Rai Suartini, Gung Rai dikaruniai 2 putra: Anak Agung Raka Jeniary dan Anak Agung Gede Yudi Sadona serta 1 putri: Anak Agung Dina Puspita. Kalau dulu pemeluk agama Hindu ini menghidupi diri dan keluarganya dengan menjual karya para pelukis Bali, kini Gung Rai memburu karya terbaik para pelukis Bali yang masih disimpan para kolektor di luar negeri. Tak hanya karya para pelukis asli Bali, karya seniman non Bali yang bertema Bali juga di burunya. Di manapun ia mendnegar ada kolektor menyimpan lukisan Bali yang berharga, ia akan datang sekalipun harus menempuh perjalanan setengah dunia. Australia, Eropa, hingga Amerika telah dijelajahi Gung Rai dalam perburuannya. Sudah ratusan lukisan Bali yang berhasil dibawanya pulang dan kini disimpan di ARMA Museum. TAk hanya karya pelukis Bali terkemuka seperti I Gusti Nyoman Lempad atau Sobrat, ada juga karya para pelukis kenamaan Indonesia non Bali seperti Affandi, Abas Alibasyah, Sudjojono, Srihadi Soedarsono, hingga Hendra Gunawan. Tak ketinggalan para pelukis asing yang pernah tinggal dan menjadikan Bali sebagai sumber inspirasi: Willem Hofker, Arie Smit, Rudolf Bonnet, Le Mayeur de Merpres, Antonio Blanco, Han Snel, Theo Meier, dan Donald Friend. Dari semua, karya Raden Saleh dan pelukis asal Jerman Walter Spies yang jadi favorit Gung Rai. Hebatnya, semua lukisan koleksi ARMA Museum didapat dengan cara membeli. Sumber dana dari usaha-usaha milik Gung Rai: galeri seni, hotel, dan restoran. Inilah yang membuat Gung Rai bahagia. Tak hanya menghidupi ratusan karyawan, dengan usaha-usahanya ia bisa mengembalikan karya seni terbaik Bali ke asalnya. "Di situlah kebahagiaan saya, semua dikembalikan lagi untuk Ubud dan Bali," tuturnya. 

Toh, perjuangan masih panjang. Masih banyak lukisan Bali yang menunggu dibawa pulang ke tanah Air. Gung Rai antara lain ingin membawa pulang ke Tanah Air 500 lukisan karya pelukis Bali yang hingga kini dikoleksi seorang kolektor di München (Jerman). Iapun masih ingin mengeksplorasi banyak hal di Bali. Di atas semuanya, Gung Rai menegaskan tak ada yang berubah dari hidupnya sejak dulu, selain kini ia bisa memberi lebih banyak untuk kampung halamannya. Bahkan ia masih menjadi pemandu wisata yang menurutnya menumbuhkan kebanggaan. Mungkin untuk itu pula Gung Rai selalu mengenakan busana tradisional Bali, setiap hari!

Kisah hidup Gung Rai telah dibukukan dengan judul 'Gung Rai, Kisah Sebuah Museum' yang ditulis keroyokan oleh budayawan asal Perancis Jean Couteau, teman lama  sang kolektor sejak menjadi pedagang asongan Karmajaya, dan Gung Rai sendiri. "Pada akhirnya saya tak hanya mengambil, tapi juga memberi. Itulah harmoni," tegasnya sekali lagi. Andai semua orang tak hanya mengambil dari negeri ini......

Ingin bertemu langsung dengan Pak Gung Rai sekaligus belajar melihat Bali dalam karya seniman seluruh dunia, ada di ARMA Museum & Resorts, Jl. Raya Pengosekan, Ubud, Bali.(MGH/Foto: Bali Institute)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar