Minggu, 15 Juni 2014

MOTOKO SAKURADA : KARENA CINTA PADA JUMPA PERTAMA


Persentuhannya dengan musik telah dimulai sejak usia dini. Ketika itu musik baratlah yang menggerakkannya belajar musik. Terpesona pada kemegahan suara piano yang kala itu terdengar agung dan menggema di telinganya, Motoko Sakurada belajar bermain piano sejak usia 4 tahun. Ia belajar musik klasik barat dengan serius bahkan mantap memilih masuk Kunitachi College of Music di Tokyo. Yang diplajari, apalagi kalau bukan musik klasik. Hingga suatu hari semua berubah saat sakurada menemukan cinta sejatinya. 

Hari itu di tahun 1985, Sakurada yang masih mahasiswa musik diajak temannya mengunjungi tempat latihan musik kelompok gamelan Sekar Djepun. Kelompok ini beranggotakan para mahasiswa musik senior Sakurada di kampus dan didukung Tsuge Genichi, salah seorang dosen. Pak Genichi inilah yang menyumbangkan seperangkat gamelan untuk para mahasiswanya. Pertama kali mendengar suara gamelan, Sakurada merinding. 

"Sebelumnya saya pikir suara piano itu megah dan agung. Tapi suara gamelan lebih agung! Suara gamelan mirip orkestra. Ya, orkestra dari tembaga. Biasanya suara hanya terdengar di telinga. Tapi suara gamelan menggerakkan seluruh tubuh. Saya merinding! Ini suara alam, seperti gemericik air!" ceritanya bersemangat. 

Jatuh cinta pada suara gamelan, Sakurada kemudian mencoba memainkannya dan langsung merasa menyatu dengan instrumen yang baru saja dikenalnya. Saat itu juga, ia merasa mantap sebagai pemusik gamelan dan langsung bergabung dengan Sekar Djepun. Tidak begitu mudah bagi kelompok gamelan yang seluruh anggotanya mahasiswa musik Jepang itu mempelajari gamelan. meskipun 2 diantara mereka pernah belajar gamelan di bali, namun karena hanya sebentar jadi belum jago benar. Toh semangat  dan kecintaan pada gamelan membuat anak-anak muda Jepang itu terus belajar bermain gamelan meskipun hanya dengan cara meniru dari kaset yang sempat dibawa dari Indonesia. 

Tahun 1986, Gubernur Bali saat itu Ida Bagus Mantra berkunjung ke Jepang dan berkesempatan menyaksikan latihan Sekar Djepun di kampus Kunitachi. Terkesan dengan apresiasi anak-anak muda Jepang itu terhadap budaya Indonesia, Gubernur mengundang Sekar Djepun untuk tampil di Bali. Setahun kemudian, Sekar Djepun tampil dalam Pekan Kebudayaan Bali. Penampilan mereka mendapat sambutan meriah dari para penonton. Ini membuat Sakurada dan kawan-kawan merasa dihargai dan makin bersemangat mempelajari gamelan. Sepuluh hari kunjungan di Bali mereka manfaatkan memperdalam ilmu gamelan pada para seniman Bali sekaligus melihat kehidupan masyarakat setempat. 

Setelah lulus kuliah, Sakurada bekerja di Kodomo no Shiro di Tokyo. Tugasnya merancang dan melaksanakan program musik untuk anak-anak dan remaja usia 0-18 tahun. Tetap, ia menyempatkan diri bermain gamelan di sela-sela kesibukannya. Sakurada memutuskan keluar dari pekerjaan kantorannya dan murni menekuni pekerjaan sebagai musisi di tahun 1999. Ia memilih mendalami gamelan di Bali dan membeli seperangkat gamelan bekas. Tahun 2000 ia mendirikan kelompok gamelan Terang Bulan. Kini gamelan itu disimpan di rumah ibunya di Yokohama. Sementara apartemennya di Tokyo juga penuh seperangkat gamelan lain.  

Musisi kelahiran Yokohama, 16 September 1964 ini telah melahirkan banyak karya musik baik solo maupun bersama Terang Bulan, karya tunggal maupun kolaborasi termasuk dengan seniman bidang lain, diantaranya dengan pelukis Kyotaro. Tak hanya berupa video dan CD rekaman, Sakurada juga telah menulis beberapa buku tentang gamelan. Semua karyanya dipasarkan di dan untuk pasar Jepang. 

Sakurada tinggal di pinggiran kota Tokyo, di satu apartemen yang jaraknya sekitar 10 menit berjalan kaki dari Stasiun Kajigaya. Wanita ramah ini sering tampil membawakan musik gamelan di berbagai kafe. Iapun sering membagi ilmunya tentang gamelan lewat workshops untuk umum di berbagai tempat di Jepang, termasuk ke sekolah-sekolah. Menurutnya, minat orang Jepang terutama generasi muda terhadap gamelan semakin besar terutama karena makin banyak orang Jepang yang berkunjung ke Indonesia. Ironis memang karena di Indonesia musik gamelan justru dianggap kuno dan ditinggalkan. Tentang ini, Sakurada mempunyai pendapat sendiri.

"Menurut saya, orang Indonesia masih banyak yang menghargai budaya sendiri dibandingkan orang Jepang. Saya terkesan dengan Bali karena gamelan masih sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Tapi kalaupun sekarang minat orang Indonesia pada gamelan makin berkurang, tolong diingat, di Jepang banyak pencinta kebudayaan Indonesia,"tegas wanita cantik yang ramah ini. (MGH/Foto: Koleksi Pribadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar