Dalam keterbatsan ekonomi dan fasilitas, remaja asal Karangasem, Bali, ini membuktikan mampu berprestasi di tingkat internasional. Salah satu foto karyanya berhasil meraih juara pertama lomba foto internasional 2009 yang diadakan Yayasan Anne Frank di Belanda. Berkat prestasinya, iapun diundang ke negeri kincir angin pertengahan tahun lalu.
Sepi, demikian ia biasa dipanggil karena lahir di hari Nyepi. Sehari-hari, sulung dari 2 bersaudara ini tinggal bersama ibu dan adik perempuannya. Sang ayah telah berpulang saat Sepi masih balita. Untuk menyambung hidup, sang ibu yang menderita penyakit ginjal bekerja keras sebagai pemulung dan penjual makanan di pantai. Di rumah, mereka mencoba memelihara beberapa ekor ayam dan kambing.
Sepi, demikian ia biasa dipanggil karena lahir di hari Nyepi. Sehari-hari, sulung dari 2 bersaudara ini tinggal bersama ibu dan adik perempuannya. Sang ayah telah berpulang saat Sepi masih balita. Untuk menyambung hidup, sang ibu yang menderita penyakit ginjal bekerja keras sebagai pemulung dan penjual makanan di pantai. Di rumah, mereka mencoba memelihara beberapa ekor ayam dan kambing.
Bersama keluarga kecilnya, Sepi tinggal di tepi pantai, tepatnya di sebuah rumah bambu beratap seng berukuran 3 x 4 meter di Desa Purwakerti, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Bali. Itupun bukan tanah dan rumah mereka, namun milik seseorang yang menaruh iba pada eluarga kecil ini. Ceritanya, dulu saat sang ayah masih hidup, keluarga Sepi tinggal di rumah orangtua ayahnya. Namun setelah sang ayah meninggal, mereka diusir dari rumah itu dan pindah ke rumah orangtua sang ibu. Malangnya, mereka kembali terusir sehingga terlunta-lunta tanpa tempat tinggal. Dalam keadaan itulah, mereka bertemu pemilik lahan yang baik hati dan menawarkan mereka tinggal di rumah bambu yang kebetulan berdiri di lahan miliknya. Di sanalah hingga kini Sepi beserta ibunya Ni Nengah Kirep dan sang adik Ni Nengah Jati tinggal. Selain memotret, Sepi juga suka membaca. Buku favoritnya adalah Laskar pelangi karya Andre Hirata.
Dengan keadaan ekonomi yang kekurangan, tentu Sepi tak mampu membbeli kamera tipe apapun. Tapi bila ada tekad yang kuat, jalan pasti ada. Suatu hari, Sepi bertemu seorang fotografer wanita asal Belanda, Dolly Amarhoseija. Tertarik pada kamera Dolly, iapun belajar memotret pada Dolly dengan memakai kamera sang guru, tentu saja. Terkesan dengan tekad gadis sederhana ini, Dolly mengizinkan Sepi memakai kameranya untuk hunting foto. Tak jauh-jauh, Sepi memotret di sekitar rumahnya.
Salah satu foto karya Sepi, gambar pohon tak berdaun di depan rumahnya dengan ayam yang sedang bertengger dan jemuran warna-warni, menarik perhatian Dolly. Dengan seizin Sepi, Dolly mengirim foto itu ke lomba foto internasional di negaranya, dan menang! Bagi Sepi, foto itu mempunyai arti karena ayam yang sedang bertengger dirasakannya sama seperti dirinya. "Ayam itu adalah simbol kehidupan keluarga kami. Kalau panas dia kepanasan, kalau hujanpun dia kehujanan, sama seperti kami," tuturnya pahit.
Menyusul prestasi gemilangnya, keluarga Sepi yang dulu dicibir sebagian warga desanya karena miskin, kini banjir pujian. Bahkan biografi Sepipun telah dibukukan dengan judul Potret Terindah dari Bali yang ditulis Pande Komang Suryanita. Di luar semua itu, Sepi yang kini duduk di kelas 2 SMA masih berjuang mengejar cita-citanya menjadi wartawati.(MGH/Foto: mas.godote.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar