Tanggal 26 April di tengah malam kami meninggalkan Sadel Selatan dan mulai mendaki. Saya menggunakan tabung zat asam 1 liter/menit, saya selalu berjalan paling depan, pelan dan sulit. Vinogradski dan Bashkirov menghemat tenaga mereka dan mengikuti di belakang bersama-sama dengan Kopassus. Di ketinggian 8300 m kami berusaha bergerak dengan kecepatan seperti pendakian tahun lalu. Saya di depan dan Apa dibelakang saya. Tapi kali ini tim berjalan sedikit lambat.
Saya mendaki terus melalui ketinggian 8600 m. Setelah 9 jam melalui salju setinggi paha, dengan susah payah saya mencapai Puncak Selatan. Di bawah saya, Apa mengamankan jalan yang terjal di ketinggian antara 8600 m sampai 8700 m sampai hampir mencapai Puncak Selatan. Jam 11.00 seluruh tim mencapai Puncak Selatan.
Kami mengadakan evaluasi. Apa menganjurkan, saya terus mendaki sampai puncak dan melihat keadaan. "Okay," kata saya. Ketika saya menanyakan tali, dia menjawab, bahwa kami tidak mempunyai tali lagi. Saya kecewa dengannya. Bagaimana mungkin di ketinggian ini saya harus mencari tali bekas yang terkubur dibawah salju, untuk kemudian disambung-sambung lagi sebagai tali pengaman untuk tim ini. Di sini salju sangat tebal membuat bahaya yang tak terlihat bisa muncul di mana saja.
Apa mengaku, dia menggunakan tali terakhir yang panjangnya 100 m untuk mengamankan rute yang sebenarnya tidak perlu diamankan. Saya sulit mengerti dengan tindakannya. Merasa bersalah, iapun menawarkan diri untuk turun dan mengambil tali. Yang jadi masalah sekarang adalah waktu. Waktu berjalan terus, kami harus terus mendaki atau turun.
Apa merasa bersalah. Karena kelalaiannya, ekspedisi terancam gagal. Ia pun berusaha keras memperbaikinya. Ia pergi ke depan dan mengamankan rute kami dengan sisa tali terakhir yang panjangnya tak lebih dari 40 m. Tali tua, bekas tali ekspedisi-ekspedisi terdahulu. Selama kami istirahat, saya merasakan tenaga saya terisi kembali.
Ketika Dawa memotong jalan, kami mendapat berita, bahwa di ketinggian 8500 m sudah berdiri satu kemah dan persediaan tabung zat asam untuk ekspedisi kami. Apa telah memasang tali pengaman secara bertahap sampai di ujung atas Hillary Step. Yeah! Tim dalam keadaan fit. Jam menunjukkan angka 12.30 ketika Apa melewati Hillary Step. Cuaca bersahabat. Camp Darurat beres. Bashkirov, Vinogradski dan saya memutuskan walaupun kami sangat terlambat, paling lama sekitar jam 15.00 kami akan sampai di sasaran.
Misirin berjalan maju, perlahan tanpa bantuan. Asmujiono bergerak mantap, tapi seperti orang yang sedang bermeditasi. Iwan berjalan pelan pula, namun bisa dilihat kemampuan koordinasinya berkurang meski mentalnya masih kuat. Misirin menunjukkan dari semuanya ialah yang paling mantap. Karena itu kami memberikan dia kesempatan sebagai orang yang pertama mencapai puncak. Tekad dari ketiga orang ini tidak terpatahkan. Kesempatan mencapai puncak tidak mau mereka sia-siakan.
Terpikir di otak saya, biar satu orang saja yang ke puncak, biarkan yang lainnya turun. Ah...! Nanti saja saya pikirkan, kalau kami sudah melalui Hillary Step. Tiba-tiba saya bisa merasakan Asmujiono konsentrasinya semakin berkurang, dan saya instruksikan Dr. Vinogradski untuk mengamati Asmujiono. Bashkirov dan Misirin berjalan paling depan, setelah itu Iwan dan saya, Asmujiono dan Dr. Vinogradski terakhir di belakang.
Punggungan gunung hari ini tampaknya lain dari biasanya, lebih terjal dan saljunya tebal sekali. Iwan bisa maju dengan perlahan, namun pada satu tempat badannya oleng. Untunglah di saat yang kritis itu ia berhasil diselamatkan dengan tali pengaman. Ketika saya sedang memperlihatkan padanya bagaimana cara menggunakan linggis es (ice pickels) di punggung gunung secara benar, jelas terlihat bahwa saya sedang berhadapan dengan orang yang baru 4 bulan lalu untuk pertama kali dalam hidupnya melihat salju. Sebenarnya melalui rute punggung gunung ini, dengan hanya menggunakan tali pengaman sudah cukup. Hal ini sudah saya perhitungkan sebelumnya, jadi tidak perlu menggunakan linggis es. Tapi sekarang saya terpaksa harus mengajarkan menggunakan itu ke anak muda yang sabar dan bertekad bulat ini. Saya bertanya kembali kepada diri saya sendiri, "Apa artinya semua ini, bagi orang Indonesia?" Bahkan sebagai seorang atlet, saya tidak akan mempertaruhkan nyawa hanya sekedar untuk sampai ke puncak. Tapi serdadu ini punya prinsip luar biasa. Mereka rela mempertaruhkan nyawa mereka untuk keberhasilan ekspedisi ini.
Setelah Iwan berjuang melalui punggungan gunung, dimana pada fase ini saya harus terus mengamati, kami mendaki terus perlahan dan saya sampai di kaki Hillary Step. Disini saya bertemu sesosok jenazah (jenazah Bruce Harrods, yang hilang pada th.1996, anggota Johannesburg Sunday Times Expedition Afrika Selatan). Dia tergeletak di sana dengan tubuh terlilit tali, besi cengkram sepatu esnya pada keadaan hendak naik, dan wajahnya sudah tidak dikenal lagi. Cuaca disini memang berat, saya mengenali dia hanya dari jaket biru bulu angsa yang dipakainya. Saya dan semua di tim kami sangat menyesal tidak bisa berbuat banyak dengan jenazah ini, karena keadaan yang tidak memungkinkan, selain menaruh hormat yang sangat besar pada jenazah mendiang. Disamping tugas pokok saya sebenarnya adalah menjaga lampu kehidupan orang Indonesia yang sudah mulai berkerlap-kerlip ini, situasi yang kami hadapi juga tak kalah berbahayanya.
Saya sampai di ujung Hillary Step, selagi Iwan dan Asmujiono yang berjalan di belakang saya melewati punggung gunung. Di situ saya berdiskusi dengan Bashkirov. Kami harus memutuskan apakah hanya Misirin sendiri yang terus mendaki sampai di puncak, dan yang lainnya turun. Apa dan Dawa sudah terus mendaki didepan menuju puncak. Asmujiono sedang berusaha melewati Hillary Step, Vinogradski nampak di belakang. Dia berusaha meyakinkan Iwan untuk turun, tapi Iwan menolak. Bisa dilihat bagaimana Iwan berjuang pantang mundur, terus mendaki ke atas melalui Hillary Step. Tidak satupun dari orang Indonesia ini bersedia untuk menyerah.
Saya merasa khawatir dengan cadangan tenaga mereka, karena mereka juga akan membutuhkannya untuk turun nanti. Walaupun puncak tinggal kurang lebih 100 m, demi keselamatan, saya berkata pada Iwan dan Asmujiono dan menasihati mereka untuk berbalik dan turun. Sekali lagi mereka menolak mentah-mentah!
Karena itu kami semua terus naik menuju puncak. Saya menyusul ke depan sampai 30 m dari puncak. Di sana saya menemui Apa dan Darwa dan membicarakan soal keadaan Iwan dan Asmujiono yang sudah berjalan seperti robot, tapi tetap dalam keadaan konsentrasi penuh ke arah puncak. Saya ingin mereka turun, selagi mereka masih kuat dan sanggup. Mungkin sekali kami nanti menggunakan Camp di ketinggian 8500 m. Saya ingin secepat mungkin turun dari puncak, karena sekarang sudah pukul 15.00 jadi sudah sangat kemalaman. Cuaca masih stabil, tapi sudah mulai kelihatan awan putih halus mengambang di sisi selatan. Karena saya lihat pendaki Indonesia beristirahat semenit untuk setiap langkah yang mereka ayun, saya pun jadi berpikir, pasti mereka masih memerlukan waktu setengah jam sampai puncak.
Ketika saya sampai di puncak yang disusul Misirin dan Bashkirov dengan jarak 30 m dibelakang saya, saya melihat Misirin jatuh diatas salju. Tiba-tiba muncul Asmujiono dan melewati Misirin yang masih tergeletak diatas salju. Dengan pandangan matanya yang selalu tertancap ke puncak Everest, dia berlari kecil seperti di bawah sadar dan gaya 'slow motion' menuju tiang berkaki tiga yang penuh dengan bendera yang merupakan tanda puncak Everest, dan dia langsung memeluknya. Dia menyingkirkan semua apa yang ada kepalanya, dan langsung memakai Baret Merah di kepalanya, dia terus mengambil bendera dan mengibarkan Sang Saka Merah Putih di puncak Everest. Rasa takjub luar biasa mendera saya, kejadian seperti yang barusan saya lihat ini sungguh tidak pernah saya alami.
Karena tekad, usaha laki-laki ini membuahkan kebanggaan untuk bangsanya.
Cukup sekarang! Sekarang juga semua turun! Saya cek kondisi saya. I feel good dan masih ada tenaga simpanan. Bashkirov dan Vinogradski juga masih kuat dan otak mereka masih berfungsi normal. Kami masih bisa berpikir untuk mengontrol ini semua, sedang orang Indonesia lebih banyak bergerak secara otomatis sesuai dengan yang akhir-akhir ini sering mereka lakukan. Sebuah situasi yang dalam hal-hal tertentu bisa membahayakan mereka.
Saya mengambil foto Asmujiono di Puncak Everest. Sekarang sudah jam 15.30 sudah sangat terlambat. Bashkirov sampai di puncak. Apa yang kembali lagi ke puncak, langsung saya perintahkan untuk membangun tenda di Camp 5. Kami tinggal di puncak tidak lebih dari 10 menit. Vinogradski hanya beberapa meter dari tripod penanda puncak, ketika saya memerintahkan semuanya untuk turun. Vinogradski balik dan pergi mencari Iwan, yang berada 80 m dari puncak. Saya menghampiri Misirin yang berada 30 m dari puncak, tergeletak di atas salju, lalu saya berjongkok di sampingnya dan berkata padanya bahwa kita telah sampai di puncak. Saya keheranan, ketika tiba-tiba dia berdiri dan berjalan untuk turun. Seratus meter di bawah puncak waktu turun, kami bertemu dengan Vinogradski dan Iwan. Memang berat hati saya memerintahkan laki-laki ini yang tinggal beberapa meter dari puncak untuk segera turun, tapi saya tetap keras demi keselamatan diri mereka sendiri, karena setiap menit sangat berharga. Kalau kami tidak berhasil turun di bawah sinar matahari, rencana yang telah disusun akan berantakan.
Kami sampai di Puncak Selatan pada jam 17.00, setelah bersusah payah memanfaatkan tali-tali bekas dan tua menyelusuri jalan turun, yang telah di pasang Apa yang dengan cara diputus-putus untuk melewati punggungan gunung. Saya turun yang paling akhir, Dawa sudah menunggu di Puncak Selatan. Ketika turun dari Puncak Selatan, Misirin terjatuh berkali-kali tapi dia berdiri kembali dan terus turun. Iwan, yang memakai tabung zat asam dari Vinogradski, tiba-tiba terlepas dari tali penyelamatnya dan merosot ke bawah. Kalau Vinogradski tidak buru-buru memegang dia dan mengikatkannya kembali di tali pengaman, jurang menganga dengan kedalaman ratusan meter akan menelannya. Asmujiono yang bergerak lincah turun bersama para sherpa. Saya memimpin grup ini dan berjalan di depan dengan menyalakan lampu kepala yang saya arahkan ke rute kami.
Jam 19.30 semua Kopassus dan saya sampai di Camp 5. Bashkirov dan Vinogradski sampai satu jam lebih lambat. Sekarang hanya Kopassus yang memakai tabung zat asam. Saya melepaskan besi cengkram sepatu mereka agar mereka bisa masuk dan tidak merusak kemah. Tenda yang lebih mirip seperti bivak karena tiangnya kami pendekkan. Di sini kami mempunyai peralatan masak dan dua tabung zat asam berisi penuh. Camp darurat seperti ini tentu tidak begitu nyaman, tapi cukup untuk melindungi kami berenam dari temperatur yang sangat dingin di luar. Untungnya sekarang angin sedang tak berhembus. Di malam ini Everest kelihatannya sangat bersahabat pada kami. Saya mengizinkan Apa dan Dawa pergi turun. Besok saya akan berkomunikasi ke bawah.
Sekarang mulai apa yang disebut secara diplomatis oleh Bashkirov sebagai "drama di malam hari". Vinogradski sepanjang malam selalu memasak air, dan selama itu juga saya dan Bashkirov bergantian menggilir zat asam untuk orang indonesia yang sudah kelelahan ini. Sepanjang malam kami bergantian menggilir zat asam untuk mereka, karena kami harus berhemat supaya cukup untuk malam ini. Kalau seorang dari mereka agak kelamaan menunggu pembagiannya, maka mulailah dia menjerit-jerit dan berdoa. Kami bertiga bekerja sekuat tenaga hampir tanpa berkata sepatah kata pun malam itu.
Mentari pagi terbit, tanpa angin, dengan awan yang berwarna-warni indah sekali. Ketika kami keluar dari kemah, tampaklah panorama dari Lhotse, Makalu dan Kanchenjunga dari arah timur dan selatan, sedangkan puncak Everest sedang mencair oleh silaunya matahari pagi. Sekarang yang harus kami lakukan hanya turun. Suatu pendakian ke puncak sebuah gunung dikatakan benar-benar berhasil jika semua selamat sampai ke basecamp.
Kami memasak air untuk terakhir kali, dan semua mendapat bagian minum air panas. Mental dari Kopassus telah pulih kembali, mereka selamat dari bahaya beku. Zat asam telah habis, tapi lantaran aklimatisasi yang sukses dan semalam mereka tidur memakai tabung zat asam, sekarang nampaklah hasil positifnya. Ketiga serdadu itu bergerak pelan, tapi biarlah, pokoknya mereka bergerak. Saya berharap Apa dan sherpa lainnya yang berada di Sadel Selatan akan menyongsong dan menyambut kami. Pagi ini dunia menunjukkan sinarnya yang indah sekali ketika kami mulai turun.
Sekarang keadaan sudah stabil, saya ingin sekali menyelesaikan urusan pribadi yang masih tetap saja membebani hati saya. Di ketinggian 8400 m saya melihat-lihat, kalau-kalau saya bertemu jenazah Scott Fischer, walau kemarin saya sudah mencoba mencarinya dengan sia-sia. Sekarang saya melihat dia. Saya tidak menemuinya kemarin, mungkin karena hari sudah gelap, padahal dia tergeletak kira-kira hanya 30 m dari posisi kami. Saya harap 'misi' saya untuk Jeanie (Istri Scott) terpenuhi. Bendera yang penuh tulisan dari istri Scot dan teman-temannya, saya letakkan disana. Walaupun sebenarnya saya ingin membalutnya dengan bendera itu, tapi karena waktu yang mendesak dan juga tanggung jawab saya pada ekspedisi ini, maka saya hanya melakukan janji saya yang terpenting dan sangat menyedihkan ini saja. Dengan dibantu oleh Vinogradski, saya menguburkan Scott, yang hampir seluruh tubuhnya sudah tertutup salju. Kami menimbun Scot dengan salju dan batu-batu, dan diatasnya saya tandai dengan gagang linggis yang kami temui disekitar tempat itu. Vinogradski dan saya sampai di Sadel Selatan tengah hari.
Misirin, Iwan dan Asmujiono duduk di balkon (batu besar datar) sedang menghirup tabung zat asamnya. Disini, di Sadel Selatan mereka bisa bernafas lega. Mereka telah berhasil. Kami minum teh dan bersiap untuk tidur.
Esok paginya, saya melewati Sadel menuju ke ujung tidak jauh dari tepi Kangshung, tempat terjadinya tragedi di malam yang kejam setahun lalu. Di sanalah saya meninggalkan Yasuko Namba. Hari ini saya menemukan tubuhnya, sebagian tertutup salju dan es. Ranselnya sudah tidak ada, isinya berserakan di sekitarmya. Saya mengambil beberapa barangnya, yang nanti akan saya serahkan pada keluarganya. Setelah itu saya mengubur tubuh mungilnya dengan batu-batuan, dan saya tandai dengan dua kapak es yang saya temui di sana. Dengan kesedihan mendalam karena kehilangan teman, hanya itulah yang bisa saya lakukan untuk keluarga Yasuko dan Scott. Sempat terlintas dalam benak saya, bagaimana Iwan, Misirin dan Asmujiono yang menatap maut di depan mata mereka dengan gagah berani. Juga terpikir oleh saya, kesedihan dan rasa sakit keluarga-keluarga yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai di sini. Tapi saya tahu, keberhasilan mencapai puncak Everest akan terus menjadi pemikat bahkan bagi mereka yang tak punya pengalaman mendaki gunung ini.
Misirin, Iwan, Asmujiono, Apa, Dawa, Bashkirov, Vinogradski dan saya turun gunung dan bergembira dengan keberhasilan kami. Banyak hal yang kecil terjadi menghiasi keberhasilan kami. Nasib baik jelas berpihak pada kami. Ekspedisi Indonesia telah selesai, tanpa meninggalkan kesedihan di hati saya.
Jalur di Khumbu Icefall
Memanjat jurang es (ice break) sesaat sebelum Camp I
Camp I
Camp II
Menuju Camp III
Camp III: Salju yang menutupi tenda
Iwan Setiawan di South Summit (8500 m) sedang menyaksikan Misirin & Asmujiono di Hillary Step (8700m)
Dan inilah yg ditunggu-tunggu "sang ASMUJIONO at the top of the world with his red berret..!!"
Asmujiono di puncak Everest
Camp 5 - Sehari setelah muncak
belakang: Asmujiono, Misirin, Iwan Setiawan
depan: Boukreev, Vinogradski, Bashkirov
HIDUPLAH.. INDONESIA RAYA..........!!!!!
(Jess)
Catatan penutup dari Megatruh:
- Anatoli Boukreev, Evgeny Vinogradsky, dan Vladimir Bashkirov adalah para pendaki gunung profesional yang dikenal sebagai legenda di dunia pecinta alam. Ketiganya dikenal sebagai instruktur panjat tebing terbaik di dunia pada masa itu. Dari ketiganya, Boukreev yang paling berpengalaman mendaki Everest.
- Boukreev, sarjana fisika lulusan Universitas Chelyabinsk, Uni Sovyet. Ia masuk warga negara Kazakhstan setelah Uni Sovyet pecah. Boukreev meninggal akibat longsoran salju dalam pendakian di Annapura I, 25 Desember 1997.
- Vladimir Bashkirov meninggal hanya sebulan setelah Ekspedisi Mount Everest Kopassus ini berakhir. Bashkirov tutup usia saat berusaha membuka jalur baru menuju puncak Everest melalui Lhotse tengah. Belau meninggal tepat tanggal 21 Mei 1997.
- Kesuksesan Ekspedisi Mount Everest Kopassus 1997 ini mengukuhkan Indonesia sebagai negara pertama di dunia yang anggota militernya berhasil menapakkan kaki di puncak gunung tertinggi di dunia, gunung Everest! Prestasi yang banyak mendapat perhatian media internasional pada masa itu dan mengharumkan nama Indonesia pastinya!(MGH)
Dulu tahu tentang ekspedisi everest 97 ini dari membaca buku milik teman saya salah satu keponakan om Iwan Setiawan, belum sempat catat beberapa hal seperti bagaimana latihan mereka untuk persiapan ekspedisi tersebut, mungkin ada yang punya file pdf buku tersebut ?
BalasHapus