Kamis, 29 Mei 2014

NARI : PENGABDIAN DARI RASA MALU


Di usia Beliau yang ke-70 tahun, Pak Nari  masih bersemangat mengabdikan diri untuk melestarikan takepan. Tidak hanya membacakan takepan di hajatan-hajatan warga yang mengundang, Pak Nari kadang bahkan berjalan sekuat kaki tuanya berjalan untuk membaca takepan dari rumah ke rumah. Pak Nari juga mengajar anak-anak dan remaja membaca takepan. Untuk menarik peminat, Pak Nari tak hanya menggratiskan 'kursus'-nya, tapi juga membagikan kelereng dan kue-kue gratis untuk para muridnya. Tidak sia-sia. Kini 4 dari 15 muridnya telah mahir membaca takepan termasuk menulis dan menerjemahkan bahasa Jawa Madya. Sementara yag lain sudah bisa menulis aksara Jejawan. 

Sebelum berkenalan lebih jauh dengan Pak Nari, perlu diketahui takepan adalah naskah kuno beraksara Jawa kuno, Jawa, Bali, dan Sasak (Jejawan) yang ditulis di atas lontar. Naskah ditulis dalam beberapa bahasa, biasanya Jawa Madya. Cara membaca naskah dengan ditembangkan oleh seorang pembaca takepan, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Sasak oleh penerjemah. Membaca takepan atau naskah lontar ini merupakan tradisi suku Sasak di pulau Lombok (NTB) dalam acara hajatan seperti pernikahan, potong rambut anak balita (ngurisang), dan khitanan. Umumnya pembacaan takepan dilakukan malam hari pukul 21.00 hingga menjelang adzan Subuh. 

Lanjut berkenalan dengan Pak Nari. Beliau  adalah putra pemain gendang sekaligus pembaca takepan, Ahmad Gani dengan Icah. Pak Nari lahir di Lombok Barat (NTB) dengan nama Amak Nurmini atau biasa disapa Mini. Pendidikan formal Beliau hinga kelas IV Sekolah Rakyat. Meskipun sang ayah menekuni  takepan, namun ternyata dulu Pak Nari tidak bisa membaca takepan sama sekali. Ketertarikan Beliau pada naskah kuno muncul karena rasa malu pada masyakarat, sebagai putra seniman Sasak namun tak bisa membaca takepan. Maka bergurulah Beliau hingga ke Lombok Tengah. 

Ketika sang ayah wafat, Pak Nari mewarisi puluhan naskah takepan baik yang asli maupun salinan yang telah ditulis di atas kertas. Meskipun naskah-naskah ini sangat langka dan berharga, Pak Nari selalu bersedia meminjamkan pada siapa saja yang berminat. Harapannya, agar lebih banyak orang belajar takepan hingga budaya sasak ini lestari. Sayang, kebaikan Beliau kadang dikhianati. Beberapa kali naskah yang dipinjamkan tidak kembali. Bahkan ada yang ternyata dijual oleh peminjamnya seperti yang terjadi pada naskah lontar Bidak Sekar. Pak Nari hanya pasrah dan mengikhlaskan. Beliaupun tak kapok meminjamkan takepan. Beliaupun tak pelit berbagi ilmu bagi para pembaca takepan lain yang menjadikan Beliau sebagai tempat bertanya. 

Tahun demi tahun berlalu menggerus masa muda dan kesehatan Pak Nari namun tak ada yang bisa mengikis cintanya pada takepan. Semangatnya langsung bangkit tiap berbicara tentang takepan. Bahkan kalau sakit, Beliau mengaku hanya perlu membaca naskah lontar selama 2 jam dan tubuhnya akan sehat kembali. Honor sebagai pembaca takepan sebesar Rp 250 ribu-Rp 500 ribu/ tampil (dibagi 2 dengan penerjemah) tak cukup untuk hidup apalagi tawaran tampil tak tentu datangnya. Sementara Beliau tak lagi kuat bekerja di sawah seperti dulu. Untunglah ketiga anaknya membantu kebutuhannya sehari-hari. 

Dari Dusun Pelulan, Desa Kuripan Utara, Kecamatan Kuripan, Lombok Barat, Pak Nari terus mengabdikan diri untuk kebudayaan Indonesia dalam kebersahajaannya.(MGH - disarikan dari Kompas/Foto : repro Khaerul Anwar) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar