Buku Greatest Weightlifters to Ever Compete karya Alex Trost dan Vadim Kravetsky menempatkan Charlie Depthios di peringkat ke-9 dari 100 atlet angkat besi dunia sepanjang masa. Meski sudah tutup usia, nama besar Charlie Depthios tetap dikenang dan dicatat dalam sejarah olahraga angkatbesi internasional. Dialah atlet pemecah 2 rekor dunia. Yang pertama rekor dunia clean and jerk kelas terbang seberat 127,5 kg saat bertanding di PON Surabaya (1969). Rekor ini menumbangkan rekor dunia atlet Rusia Khaisisin seberat 126,5 kg. Tiga tahun kemudian Charlie kembali membukukan rekor dunia clean and jerk saat bertanding di Olimpiade Muenchen (1972) kali ini seberat 132,5kg. Sayangnya, rekor ini tidak diakui dengan dalih dibuat saat angkatan keempat. Kecewa? Sudah pasti! Tapi itu bukan satu-satunya peristiwa tidak mengenakkan yang dialami Charlie ketika bertanding.
Tahun 1970 Charlie didiskualifikasi dari Asian Games Bangkok setelah 2 tahun sebelumnya juga didiskualifikasi dari Olimpiade Mexico. Keduanya dengan alasan yang sama: Charlie salah teknik saat mengangkat barbel. Charlie memang tidak mempunyai pelatih. Ia berlatih dan mengatur strategi sendiri. Namun ia berusaha menimba ilmu dari para pelatih setempat setiap kali bertanding di luar negeri. Biaya hidup dan pembayaran untuk pelatih didapat Charlie dengan bekerja sampingan di luar negeri.Ia misalnya, pernah bekerja sebagai pencuci piring saat bertanding di Ohio (Amerika Serikat). Karena itu, ketika berkali-kali didiskualifikasi dan rekornya tidak diakui Olimpiade, Charlie merasa diperlakukan tidak adil oleh juri. Setelah lama berfikir dan menimbang, tahun 1974 legenda angkatbesi dunia ini memutuskan mundur sebagai atlet. Charlie pindah ke Papua untuk menghidupkan olahraga angkatbesi di pulau paling timur Indonesia itu. Tapi tidak hanya itu. Charlie juga mendirikan klub angkatbesi Gelanggang Sehat Kuat di Pekanbaru (Riau), klub yang kemudian melahirkan atlet-atlet angkatbesi tanggung Indonesia.
Lahir dengan nama Charles Depthios tepat 2 Februari 1940 di Mamuju (Sulawesi Barat), Charlie memutuskan menjadi atlet angkatbesi profesional walaupun pada masa itu penghasilan atlet sangat kecil dibanding sekarang. Bahkan dulu atlet sering tidak mendapat uang saku bila bertanding di luar negeri. Namun kecintaannya pada angkatbesi membuat Catlet bertinggi 154 cm ini berani mengikuti kata hatinya meskipun ia harus menanggung nafkah istri dan 7 anak. Bahkan sekedar untuk membeli oleh-oleh bagi keluarga setelah bertanding di luar negeripun, Charlie harus menjalani pekerjaan informal setelah pertandingan selesai. Bahkan setelah menjadi atlet internasionalpun, Charlie tetap hidup kekurangan. Ia bahkan tak punya biaya untuk berobat saat giginya sakit.Untung, ada kenalannya yang dokter gigi bersedia mengobati gigi Charlie secara gratis. Namun dengan segala keterbatasan itu Charlie bersedia memberi makan beberapa atlet angkatbesi muda binaannya. Untuk memenuhi gizi mereka, Charlie setiap hari menyediakan menu telor ayam yang didapat dari ayam-ayam peliharaan sang istri, Endang Setyanti. Yang lebih mengagumkan, para atlet muda binaan Charlie kebanyakan mantan preman dan pengangguran. Untungnya (Indonesia banget ya), waktu masih menjadi atlet, Charlie mendapat hadiah rumah di Tomang, Jakarta Barat dari Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin. Rumah itu kemudian dijual Charlie dan dibelikan 3 oplet untuk menghidupi keluarga besarnya (istri, anak, dan atlet-atket binaannya).
Ketika kemudian pindah ke Jambi tahun 1990 untuk melatih angkatbesi, Charlie mendapat gaji sebesar Rp 300.000/bulan. Gaji sebesar itu bertahan hingga sang legenda yang murah hati tutup usia karena penyakit stroke di tahun 1999. Selamat beristirahat Pak Charlie. (mgh/foto: Tempo)
Lahir dengan nama Charles Depthios tepat 2 Februari 1940 di Mamuju (Sulawesi Barat), Charlie memutuskan menjadi atlet angkatbesi profesional walaupun pada masa itu penghasilan atlet sangat kecil dibanding sekarang. Bahkan dulu atlet sering tidak mendapat uang saku bila bertanding di luar negeri. Namun kecintaannya pada angkatbesi membuat Catlet bertinggi 154 cm ini berani mengikuti kata hatinya meskipun ia harus menanggung nafkah istri dan 7 anak. Bahkan sekedar untuk membeli oleh-oleh bagi keluarga setelah bertanding di luar negeripun, Charlie harus menjalani pekerjaan informal setelah pertandingan selesai. Bahkan setelah menjadi atlet internasionalpun, Charlie tetap hidup kekurangan. Ia bahkan tak punya biaya untuk berobat saat giginya sakit.Untung, ada kenalannya yang dokter gigi bersedia mengobati gigi Charlie secara gratis. Namun dengan segala keterbatasan itu Charlie bersedia memberi makan beberapa atlet angkatbesi muda binaannya. Untuk memenuhi gizi mereka, Charlie setiap hari menyediakan menu telor ayam yang didapat dari ayam-ayam peliharaan sang istri, Endang Setyanti. Yang lebih mengagumkan, para atlet muda binaan Charlie kebanyakan mantan preman dan pengangguran. Untungnya (Indonesia banget ya), waktu masih menjadi atlet, Charlie mendapat hadiah rumah di Tomang, Jakarta Barat dari Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin. Rumah itu kemudian dijual Charlie dan dibelikan 3 oplet untuk menghidupi keluarga besarnya (istri, anak, dan atlet-atket binaannya).
Ketika kemudian pindah ke Jambi tahun 1990 untuk melatih angkatbesi, Charlie mendapat gaji sebesar Rp 300.000/bulan. Gaji sebesar itu bertahan hingga sang legenda yang murah hati tutup usia karena penyakit stroke di tahun 1999. Selamat beristirahat Pak Charlie. (mgh/foto: Tempo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar