Kecintaannya pada kain songket sungguh luar biasa. Tak hanya rela meninggalkan negerinya yang makmur, Bernhard juga melepaskan pekerjaannya yang mapan sebagai arsitek di negeri asalnya, Swiss. Dengan dana pribadinya, Bernhard berkeliling beberapa negara Eropa untuk mempelajari motif songket lama Minangkabau. Ia telah menyinggahi Museum Leiden (Belanda), museum di Los Angeles (Amerika Serikat), hingga museum di daerah asal kain songket, Sumatera Barat. Tak puas, Bernhard langsung mengunjungi nagari (kampung) sentra songket.
Bersama istrinya, Erika Dubler, Bernhard tinggal di Nagari Batutaba, satu kawasan sejuk 10 km dari Bukittinggi ke arah Payakumbuh. Pasangan yang telah dikaruniai seorang cucu ini mengaku kerasan tinggal di Sumatera Barat karena keramahan dan keterbukaan penduduknya. Selain meneliti dan merevitalisasi songket Minangkabau, Bernhard telah menulis buku berjudul 'Revitalisasi Songket Lama Minangkabau' (2006) dan menulis artikel 'Revitalising Minangkabau Songket Weaving' di majalah Textiles Asia terbitan Hongkong (2009).
Bersama istrinya, Erika Dubler, Bernhard tinggal di Nagari Batutaba, satu kawasan sejuk 10 km dari Bukittinggi ke arah Payakumbuh. Pasangan yang telah dikaruniai seorang cucu ini mengaku kerasan tinggal di Sumatera Barat karena keramahan dan keterbukaan penduduknya. Selain meneliti dan merevitalisasi songket Minangkabau, Bernhard telah menulis buku berjudul 'Revitalisasi Songket Lama Minangkabau' (2006) dan menulis artikel 'Revitalising Minangkabau Songket Weaving' di majalah Textiles Asia terbitan Hongkong (2009).
Bernhard lahir di Bern (Swiss), 26 Februari 1947. Semasa mudanya, alumnus sekolah tinggi teknik Burgdorf ini senang mengunjungi berbagai negara. Di setiap negara yang dikunjungi, Bernhard terutama memuaskan ketertarikannya pada kain khas setempat. Namun pada songket Minangkabaulah Bernhard melabuhkan 'cinta sejatinya'. Padahal tadinya ia berkunjung ke Sumatera Barat untuk mempelajari bahasa Indonesia (1977). Namun ia justru kerasan dan jatuh hati pada songket lama Minangkabau. Bernhard bahkan sempat meninggalkan Erika yang tetap tinggal di Swiss ketika memutuskan untuk meneliti tentang songket langsung di Sumatera Barat (1996). Baru 4 tahun lalu pasangan ini kembali bersama saat Erika akhirnya menyusul Bernhard di Batutaba. Bahkan Erika ikut aktif melestarikan songket bersama suaminya hingga kini. Meski baru 4 tahun di Indonesia, Erika telah lancar berbahasa Indonesia, seperti juga suaminya.
Motif songket yang baru terbentuk saat ditenun, bukan dibuat sebelumnya seperti kain lainnya, itulah yang terutama membuat Bernhard jatuh hati. Selain itu, ia menganggap songket merupakan perpaduan paripurna antara seni dan optimalisasi teknik. Baginya, membuat motif songket sama seperti matematika karena harus dihitung jumlah benang ke atas dan ke bawah.
Bersama pasangan seniman Sumatera Barat Alda Wimar dan Nina Rianti, Bernhard mendirikan Studio Songket ErikaRianti di Batutaba, Kabupaten Agam (2005). Namanya, tentu diambil dari nama istri Bernhard dan Alda. Studio ini membina 8 penenun muda. Selain memproduksi replika songket-songket lama, mereka juga membuat motif-motif yang baru. Pengelolaan studio diserahkan pada Nanda Wirawan, putri Alda dan Nina. Sementara Bernhard berkonsentrasi pada riset dan pengembangan motif. Salah satu hasil riset Bernhard adalah modifikasi alat tenun songket yang bisa mempersingkat waktu produksi. Kalau sebelumnya dibutuhkan waktu 6 bulan-3 tahun untuk membuat selembar kain songket dengan alat tenun konvensional, dengan alat tenun modifikasi Bernhard waktu produksi songket cukup 1-3 bulan saja, dengan kualitas yang sama halus dan indahnya. Bernhard juga terus mendorong Nanda untuk lebih jauh meneliti makna setiap songket lama Minangkabau.
Hingga saat ini Studio Songket ErikaRianti belum mencapai kesuksesan finansial karena penjualannya masih terbatas sehingga produksi mereka kebanyakan hanya untuk disimpan. Modalnyapun diperoleh dari menyewakan rumah Bernhard di Swiss. Kini, setelah berdirinya studio songket ini, minat generasi muda Batutaba untuk menekuni songket semakin meningkat. Sayang, keterbatasan produksi dan dana membuat Bernhard hanya bisa merekrut 8 orang dari mereka saja. Erika mengatakan, meski bisa menjual songket di luar negeri, mereka lebih ingin menjual songket di Indonesia agar diapresiasi pemiliknya sendiri. Diharapkan, orang Indonesia khususnya Minangkabau mau belajar dan mengapresiasi adatnya sendiri.
Banyaknya kain tradisional Indonesia termasuk songket lama Minangkabau yang tak lagi bisa ditemukan di pasar Indonesia membuat Bernhard sedih. Songket lama Minangkabau misalnya, hanya bisa dilihat di museum-museum dan koleksi pribadi kalangan tertentu di luar Indonesia. "Seperti tidak ada lagi kebanggaan orang Indonesia pada budaya sendiri," keluh Bernhard.
Sayang, meski telah berbuat begitu banyak untuk indonesia, Bernhard tetap menghadapi masalah yang sangat mendasar sekaligus klasik, izin tinggal. Tidak ada dispenssasi untuk pria Swiss berhati Indonesia ini. Hinga kini permohonannya untuk mendapat izin tinggal sementara tak dikabulkan pihak berwenang. Bernhard hanya mendapat visa turis sehingga harus keluar dari Indonesia setiap 2 bulan sekali untuk mengurus visa yang baru. Situasi ini sering membuat pria lanjut usia ini merasa lelah. Namun begitu mengingat songket Minangkabau, semangat Bernhard selalu menyala lagi.
Alamat Studio Songket ErikaRianti: Jorong Panca, Nagari Batutaba, Kecamatan Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.(MGH/Foto: Yanti)
Motif songket yang baru terbentuk saat ditenun, bukan dibuat sebelumnya seperti kain lainnya, itulah yang terutama membuat Bernhard jatuh hati. Selain itu, ia menganggap songket merupakan perpaduan paripurna antara seni dan optimalisasi teknik. Baginya, membuat motif songket sama seperti matematika karena harus dihitung jumlah benang ke atas dan ke bawah.
Bersama pasangan seniman Sumatera Barat Alda Wimar dan Nina Rianti, Bernhard mendirikan Studio Songket ErikaRianti di Batutaba, Kabupaten Agam (2005). Namanya, tentu diambil dari nama istri Bernhard dan Alda. Studio ini membina 8 penenun muda. Selain memproduksi replika songket-songket lama, mereka juga membuat motif-motif yang baru. Pengelolaan studio diserahkan pada Nanda Wirawan, putri Alda dan Nina. Sementara Bernhard berkonsentrasi pada riset dan pengembangan motif. Salah satu hasil riset Bernhard adalah modifikasi alat tenun songket yang bisa mempersingkat waktu produksi. Kalau sebelumnya dibutuhkan waktu 6 bulan-3 tahun untuk membuat selembar kain songket dengan alat tenun konvensional, dengan alat tenun modifikasi Bernhard waktu produksi songket cukup 1-3 bulan saja, dengan kualitas yang sama halus dan indahnya. Bernhard juga terus mendorong Nanda untuk lebih jauh meneliti makna setiap songket lama Minangkabau.
Hingga saat ini Studio Songket ErikaRianti belum mencapai kesuksesan finansial karena penjualannya masih terbatas sehingga produksi mereka kebanyakan hanya untuk disimpan. Modalnyapun diperoleh dari menyewakan rumah Bernhard di Swiss. Kini, setelah berdirinya studio songket ini, minat generasi muda Batutaba untuk menekuni songket semakin meningkat. Sayang, keterbatasan produksi dan dana membuat Bernhard hanya bisa merekrut 8 orang dari mereka saja. Erika mengatakan, meski bisa menjual songket di luar negeri, mereka lebih ingin menjual songket di Indonesia agar diapresiasi pemiliknya sendiri. Diharapkan, orang Indonesia khususnya Minangkabau mau belajar dan mengapresiasi adatnya sendiri.
Banyaknya kain tradisional Indonesia termasuk songket lama Minangkabau yang tak lagi bisa ditemukan di pasar Indonesia membuat Bernhard sedih. Songket lama Minangkabau misalnya, hanya bisa dilihat di museum-museum dan koleksi pribadi kalangan tertentu di luar Indonesia. "Seperti tidak ada lagi kebanggaan orang Indonesia pada budaya sendiri," keluh Bernhard.
Sayang, meski telah berbuat begitu banyak untuk indonesia, Bernhard tetap menghadapi masalah yang sangat mendasar sekaligus klasik, izin tinggal. Tidak ada dispenssasi untuk pria Swiss berhati Indonesia ini. Hinga kini permohonannya untuk mendapat izin tinggal sementara tak dikabulkan pihak berwenang. Bernhard hanya mendapat visa turis sehingga harus keluar dari Indonesia setiap 2 bulan sekali untuk mengurus visa yang baru. Situasi ini sering membuat pria lanjut usia ini merasa lelah. Namun begitu mengingat songket Minangkabau, semangat Bernhard selalu menyala lagi.
Alamat Studio Songket ErikaRianti: Jorong Panca, Nagari Batutaba, Kecamatan Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.(MGH/Foto: Yanti)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar