Sabtu, 21 Juli 2018

PROF. DR. YAYUK RAHAYUNINGSIH SUHARDJONO : SATU-SATUNYA DI ASIA TENGGARA




Inilah Prof. DR. Yayuk Rahayuningsih Suhardjono, salah satu ilmuwan kebanggaan Indonesia. Beliau satu-satunya peneliti collembola (ekor pegas) di Asia Tenggara. Bahkan di dunia, jumlah peneliti ekor pegas bisa dihitung dengan jari jumlahnya. Prof. Yayuk sekarang menjabat sebagai Koordinator Zoologi Lembaga Biologi Nasional LIPI. Alumna S1-S3 FMIPA Universitas Indonesia (UI) ini lahir di Magelang (Jawa Tengah) pada 25 September 1950. Menikah dengan  Pak Suhardjono yang juga peneliti biologi LIPI dan dikaruniai seorang putri, Primadina Banusita (keren banget ya namanya?). 

Prof. Yayuk mulai meneliti ekor pegas pada tahun 1977. Meskipun merupakan berperan penting di ekosistem sebagai indikator hayati yang berfungsi sebagai pengurai racun sekaligus membantu perombakan bahan organik, ekor pegas sangat tidak seksi bagi para peneliti. Tidak hanya karena ukurannya yang sangat kecil hingga sulit dilihat mata telanjang, namun meneliti ekor pegas harus mau berkotor-kotor ria karena hewan super imut ini hidup di dalam tanah. Nggak seksi kan? Tidak heran ketika Prof. Yayuk mulai meneliti hewan ini, sangat banyak kendala yang dihadapi, termasuk atasan Beliau sendiri yang meminta penelitian dihentikan karena tidak adanya sarana dan supervisi.

Tidak putus asa, Prof. Yayuk menyurati semua peneliti ekor pegas di seluruh dunia (yang memang tidak banyak). Dapat balasan dari Perancis, Australia, dan Jepang. Bahkan peneliti dari Jepang langsung mengirim mikroskop khusus. Sayangnya, mikroskop tersebut tidak bisa digunakan karena tidak sesuai dengan kondisi kantor LIPI. Walhasil, Prof. Yayuk terpaksa memakai mikroskop seadanya yang dimodifikasi sebisanya. Beberapa saat meneliti ekor pegas, Prof. Yayuk mendapat kunjungan dari koleganya dari Perancis. Sang professor dari Perancis terkejut melihat mikroskop yang dipakai Prof. Yayuk. Beliau mengatakan, tidak mungkin meneliti ekor pegas menggunakan mikroskop seperti itu. Prof. Yayuk menjelaskan, itulah sarana yang dimiliki LIPI saat itu. Tidak lama kemudian, Prof. Yayuk mendapat tawaran pelatihan selama 4 minggu di Perancis. Tahun 1990, Prof. Yayuk kembali mendapat tawaran dari Australia. Kali ini untuk mengadakan penelitian selama 4 bulan di Australian National Insect Collection (ANIC), Canberra. Meninggalkan keluarga di Indonesia, selama 4 bulan Prof. Yayuk bekerja di laboratorium ANIC mulai pukul 7 pagi hingga 10 malam setiap hari. Sarana yang lengkap dan akses tak terbatas pada semua sarana dan fasilitas ANIC, membuatnya betah di laboratorium tanpa kenal waktu sekaligus membayangkan andai laboratorium sains di Indonesia secanggih itu.

Beberapa waktu setelah pulang ke Indonesia, Prof.Yayuk kembali mendapat tawaran dari Bank Dunia untuk belajar manajemen koleksi di 13 museum terkemuka dunia di 5 negara dalam program Green Environment Fund. Ilmu baru ini diterapkan Prof. Yayuk untuk membenahi puluhan ribu koleksi serangga di museum LIPI. Hasilnya, kini peneliti dan siapapun yang ingin belajar tentang serangga tidak perlu ke luar negeri lagi karena museum LIPI sudah tertata baik sama seperti museum serangga di luar negeri. 

Sebagai peneliti senior, Prof. Yayuk tetap giat bekerja di laboatorium dan membagi ilmu lewat tulisan, simposium, seminar, maupun kuliah umum di berbagai universitas seluruh Indonesia. Seperti tampak pada foto di atas, Prof. Yayuk sedang menguraikan makalah tentang Keanekaragaman Hayati Indonesia: Pengelolaan untuk Pembangunan Berkelanjutan dalam acara Symposium on Biology Education 3 tahun lalu. Tetap giat, tetap bersemangat karena memang menyukai bidang yang ditekuni. "Mengerjakan sesuatu yang kita suka itu tidak membuat capek," kata Prof. Yayuk. Setuju, Bu! (mgh/foto: symposium on biology education)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar