Buah-buahan dalam negeri terbukti lebih segar dan unggul dibanding buah impor. Kandungan vitamin C dan A pada mangga lokal misalnya, terbukti 10 kali lebih tinggi dibanding pada Apel impor yang menjadi favorit buah tangan sebagian masyarakat Indonesia. Tak hanya itu, buah-buahan dalam negeri jelas lebih segar dibanding buah impor yang telah lama tersimpan dengan mengalami proses pengawetan, ditambah perjalanan panjang untuk sampai ke pasar Indonesia. Pendeknya, kualitas buah impor jelas telah menurun dibanding buah dalam negeri yang langsung diangkut dari kebun petani.
Umumnya, buah-buahan impor disimpan selama 6 bulan-1 tahun. Tampilan luarnya memang bisa dipertahankan lewat teknik penyinaran atau dilapisi lilin. Hingga yang terpajang di depan mata kita adalah buah-buahan impor yang secara kasat mata cantik dan mengundang selera. Namun, kandungan vitaminnya sudah jauh merosot. Meski ada juga buah impor yang tidak melalui proses penyimpanan yang panjang dan langsung dipasarkan, namun distribusinya terbatas di tempat-tempat perbelanjaan premium dengan harga yang 'premium' pula.
Penampilan inilah yang antara lain membuat buah-buahan dalam negeri kalah bersaing dengan buah impor. Padahal soal rasa, buah-buahan Indonesia lebih unggul. Salah satu contoh saja yang saya rasakan sendiri, jeruk Siem (jenis jeruk yang besarnya sedang, berkulit halus mengkilat dan berwarna hijau kekuningan) rasanya jauh lebih enak dengan air yang jauh lebih banyak pula dibanding jeruk impor dari Cina yang populer. Saya pernah menanyakan pada orang-orang sekitar, mengapa lebih suka membeli jeruk impor Cina daripada jeruk dalam negeri yang rasanya lebih enak. Sebagian besar menjawab, jeruk Cina lebih murah. Alasan lain yang, jeruk Cina tampilannya lebih menarik dengan ukuran lebih besar, warna kekuningan, dan masih ditambah kemasan kardus yang menarik hingga terjaga bentuknya. Apalagi masing-masing jeruk Cina selalu dibungkus dalam plastik.
Soal tampilan ini pernah dijawab Reza Tirtawinata, Kepala Divisi Laboratorium dan Riset PT Mekar Unggul Sari, pengelola Taman Wisata Mekarsari (Bogor). Menurutnya, tampilan buah dalam negeri kurang menarik karena proses distribusi yang ala kadarnya. Jangankan tentang kemasan dan pengepakan, pengangkutannyapun ditumpuk-tumpuk dengan transportasi seadanya. Bahkan tak jarang, buah-buahan yang baru dipanen dari kebun petani ini ditekan-telan dalam truk pengangkut. Bandingkan dengan buah impor yang diangkut dalam wadah khusus dengan kendaraan khusus berpendingin pula.
Lebih mendasar lagi, lahan perkebunan buah-buahan di Indonesia sangat minim. Hampir tidak ada perkebunan buah yang besar. Sebagian besar buah-buahan dalam negeri dihasilkan dari pekarangan rumah. Informasi dari Karen Tambayong, Ketua Komite Tetap Pengembangan Pasar Pertanian Kadin Indonesia, rata-rata petani buah hanya memiliki lahan seluas 0,3-0,5 hektar. Belum lagi bicara soal teknologi dan pengelolaan tanaman buah pasca panen yang masih amat tertinggal dari negara-negara pengimpor buah seperti Australia atau Muangthai. Lebih ironis, para petani buah kita selalu berada di pihak yang dirugikan. Tak hanya bisa menjual buah pada tengkulak, petanipun tak mempunyai nilai tawar dalam penentuan harga komoditi. Harga buah sepenuhnya ditentukan tengkulak secara sepihak. Jadi bisa ditebak, apa yang diterima para petani jauh di bawah yang semestinya. Hargapun bisa berubah secepat kilat tergantung 'mood' tengkulak. Saat panen raya, harga buah juga makin merosot.
Kendala lain, belum ada asosiasi yang rapi untuk mendistribusikan hasil panen petani buah. Di Indramayu yang merupakan penghasil mangga, saat panen banyak mangga yang membusuk merana karena tak terbeli oleh tengkulak saking melimpahnya hasil panen. Padahal mestinya buah-buahan ini bisa diekspor. Tapi itulah, belum ada asosiasi yang membantu para petani mengekspor hasil kebun mereka. Meski ada beberapa perusahaan yang menawarkan untuk mengekspor mangga dari Indramayu, namun hingga kini tak kunjung terealisasi karena para petani harus menanggung sendiri biaya transportasi dan pengepakan standar internasional yang amat mahal bagi para petani kita. Produksi buah dalam negeripun masih tergantung musim kareana belum diterapkannya teknologi. Akibatnya, banyak pedagang lebih suka menjual buah-buahan impor meski sebenarnya kualitasnya di bawah buah dalam negeri. Contohnya, Rumah Durian Harum di Jakarta. Toko khusus durian ini menjual durian montong asal Muangthai yang amat populer di Indonesia. Pengelola toko, Alan, mengakui secara kualitas durian montong kalah dibandiung durian Petruk yang asli Indonesia. Tapi, tokonya 'terpaksa' menjual durian montong karena durian Petruk ketersediaannya tidak tentu, tergantung musim.
Soal harga buah-buahan dalam negeri yang justru lebih mahal daripada buah-buahan impor, dijelaskan Roedhy Poerwanto, Guru Besar Hortikulturan IPB. Menurut Roedhy, belum ada seleksi mutu di tingkat produsen buah adalam negeri. Buah-buahan yang bagus bercampur dengan buah-buahan yang jelek bahkan busuk dan diangkut ke pasar. Hasilnya setelah dipilah oleh pedagang, rata-rata 40-60 persen buah yang dikirim produsen tidak layak jual dan harus dibuang. Akibatnya, harga buah dalam negeri melonjak karena harus menanggung transportasi buah-buahan tak layak jual tadi. Sementara buah impor dapat ditekan ongkos transportasinya karena telah diseleksi di tingkat petani.
Di tengah gempuran buah-buahan impor dan berbagai masalah dalam pengembangan buah-buahan dalam negeri, tetap ada pihak-pihak yang peduli dan berinisiatif menggairahkan pasar buah-buahan negeri sendiri. Sebut saja Kem Chicks, toko swalayan premium milik Bob Sadino yang berlokasi di Pacific Place dan Kemang. Di toko yang mayoritas konsumennya orang asing ini, buah-buahan dalam negeri sangat digemari pembeli. Tak hanya menyediakan tempat khusus untuk buah-buahan dalam negeri, Kem Chicks juga akan menambah porsi buah dalam negeri karena tingginya minat konsumen.
Di pasar tradisionalpun sebenarnya cukup banyak buah dalam negeri berkualitas bagus. Namun di lapangan, buah-buahan tersebut dipasarkan dengan nama berbau impor. Durian asal Bogor yang rasanya lebih enak daripada durian Montong misalnya, dinamai 'Montong lokal'. Masih ada yang lain. Kalau Sahabat menemukan pepaya California dan pepaya Hawaii di swalayan, percayalah itu bukan impor dari negeri Oom Bama. Kedua jenis pepaya itu asli Indonesia, pengembangan dari varietas 'IPB 3/Carisya' dan 'IPB 9/Callina' temuan IPB. Semoga ini bukan gambaran mental inferior sebagian orang Indonesia. (MGH/Foto: Baltyra)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar